Senin, 16 Desember 2013

TRADISI NGABEN DI BALI

Ritual Ngaben

Ritual Ngaben

A. Selayang Pandang

Pulau Bali yang juga dikenal sebagai “Pulau Seribu Pura” memiliki ritual khusus dalam memperlakukan leluhur atau sanak saudara yang telah meninggal. Apabila di tempat lain orang yang meninggal umumnya dikubur, tidak demikian dengan masyarakat Hindu Bali. Sebagaimana penganut Hindu di India, mereka akan menyelenggarakan upacara kremasi yang disebut Ngaben, yaitu ritual pembakaran mayat sebagai simbol penyucian roh orang yang meninggal.
Dalam kepercayaan Hindu, jasad manusia terdiri dari badan kasar (fisik) dan badan alus (roh atau atma). Badan kasar tersebut dibentuk oleh 5 unsur yg disebut Panca Maha Bhuta, yang terdiri dari pertiwi (tanah), apah (air), teja (api), bayu (angin), serta akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia yang kemudian digerakkan oleh roh. Ketika seseorang meninggal, yang mati sebetulnya hanyalah jasad kasarnya saja, sementara rohnya tidak. Oleh sebab itu, untuk menyucikan roh tersebut diperlukan Upacara Ngaben untuk memisahkan antara jasad kasar dan roh tersebut.
Tentang asal kata Ngaben sendiri ada tiga pendapat. Ada yang mengatakan berasal dari kata beya yang artinya bekal, ada yang merunutnya dari kata ngabu atau menjadi abu, dan ada juga yang mengaitkannya dengan kata ngapen yaitu penyucian dengan menggunakan api. Dalam agama Hindu, dewa pencipta atau Dewa Brahma juga dikenal sebagai dewa api. Oleh sebab itu, Upacara Ngaben juga dapat dilihat sebagai upaya membakar kotoran berupa jasad kasar yang melekat pada roh (disebut pralina atau meleburkan jasad), serta mengembalikan roh kepada Sang Penciptanya.
Bagi masyarakat Bali, Upacara Ngaben merupakan momen bahagia. Sebab dengan melaksanakan Ngaben, anak-anak atau orang tua telah melaksanakan kewajibannya sebagai anggota keluarga. Bagi anak-anak yang telah dewasa, Upacara Ngaben dianggap sebagai salah satu bentuk terima kasih kepada orang tuanya yang meninggal. Oleh sebab itu, bagi sanak keluarga yang ditinggalkan, Upacara Ngaben disambut dengan suka cita, jauh dari isak tangis. Sebab mereka percaya, isak tangis hanya akan menghambat perjalanan roh menuju nirwana.
Namun, tidak semua orang yang meninggal dapat langsung di-aben. Ada juga yang dikubur terlebih dahulu karena alasan belum memiliki cukup biaya. Upacara ini memang membutuhkan biaya yang cukup besar (mulai dari puluhan hingga ratusan juta rupiah) karena pelaksanaannya memerlukan berbagai perangkat upacara (upakara). Oleh sebab itu, Upacara Ngaben boleh dilaksanakan beberapa tahun setelah seorang sanak keluarga meninggal. Bahkan untuk menghemat biaya, Ngaben juga bisa dilaksanakan secara massal. 
Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan untuk orang yang meninggal dan ada jenazahnya. Untuk orang yang jasadnya tidak ditemukan atau susah dikenali, misalnya karena kecelakaan pesawat, terseret arus laut, tertimpa musibah kebakaran, atau menjadi korban pemboman (seperti kasus Bom Bali I dan II), pihak keluarga tetap dapat melaksanakan Ngaben dengan cara mengambil tanah lokasi meninggalnya untuk dibakar. Sementara untuk bayi di bawah usia 42 hari atau bayi yang belum tanggal giginya jenazahnya harus dikubur. Apabila tetap ingin di-aben, maka dapat dilakukan dengan mengikuti Upacara Ngaben salah seorang anggota keluarga yang juga meninggal. Selain di Pulau Bali, Upacara Ngaben juga dilaksanakan oleh para penganut Hindu di beberapa tempat, seperti di Banyuwangi, Lombok, Jakarta, bahkan oleh para transmigran dari Bali di Lampung.

B. Keistimewaan

Ritual Ngaben biasanya diselenggarakan secara meriah dan mengikutsertakan ratusan hingga ribuan orang yang terdiri dari sanak saudara maupun penduduk banjar setempat (organisasi sosial khas masyarakat Bali setingkat dengan Rukun Warga). Dalam perkembangannya, upacara unik ini juga menjadi salah satu agenda pariwisata, di mana wisatawan domestik dan mancanegara dapat turut serta menonton ritual ini, terutama pada tahapan upacara utama, yaitu kremasi jenazah.
Salah satu Upacara Ngaben terbesar yang dihadiri oleh sanak keluarga, kerabat, dan wisatawan adalah Upacara Ngaben keluarga Puri Ubud pada 5 Juli 2008 silam. Sekitar 300.000 orang berkumpul di ruas Jalan Raya Ubud untuk meramaikan upacara kremasi massal yang mengikutsertakan 3 sawa (roh yang telah meninggal) dari keluarga puri dan puluhan sawa lainnya dari beberapa banjar di sekitar Puri Ubud.

Ratusan ribu pengiring dalam Ngaben keluarga Puri Ubud
Sebelum kremasi jenazah dilakukan, terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh pihak keluarga, seperti memandikan jenazah, Ngajum, pembakaran atau Ngaben, serta Nyekah. Sebelum tahapan pertama penyucian jenazah dilakukan, pihak keluarga akan menghadap pedanda (pendeta Hindu Bali) untuk menanyakan hari yang baik guna melakukan Upacara Ngaben. Apabila Ngaben dilaksanakan segera setelah seorang anggota keluarga meninggal, maka biasanya pedanda akan memilih hari yang tidak lebih dari 7 hari sejak hari kematiannya.
Setelah didapat waktu yang tepat, maka keluarga segera melakukan ritual pertama, yaitu nyiramin layon atau memandikan jenazah. Prosesi memandikan jenazah ini dilakukan oleh pedanda yang mewakili kaum Brahmana. Usai dimandikan, jenazah kemudian diberi pakaian adat Bali lengkap. Ritual selanjutnya adalah Ngajum, yaitu ritual melepaskan roh dengan cara membuat simbol-simbol yang menggambarkan proses dan unsur-unsur penyucian roh.
Di sela-sela dua ritual ini, sanak saudara dibantu masyarakat sekitar akan membuat bade (menara) dan lembu (patung mirip lembu yang akan menjadi tempat jenazah) dengan hiasan kertas warna-warni. Pada hari yang telah ditentukan, Upacara Ngaben biasanya akan dilaksanakan di kuburan desa setempat (setra). Jenazah yang akan di-aben ditempatkan di atas bade (menara) yang tingginya dipengaruhi oleh kasta sang jenazah. Menara paling tinggi (bisa mencapai puluhan meter dengan berat beberapa ton) diperuntukkan bagi jenazah dari golongan Brahmana (pemimpin agama), yang lebih rendah untuk golongan Ksatria (raja-raja) dan Wesia (pedagang), sementara menara yang paling rendah untuk golongan Sudra (rakyat biasa). Menara ini juga merupakan simbol pemisahan antara langit dan bumi, di mana roh akan diantarkan menuju nirwana.

Para kerabat dan warga banjar mengiringi Bade (menara) dan lembu, tempat jenazah yang akan dibakar
Bade dan lembu tersebut kemudian diusung dan diarak menuju setra (kuburan) dengan diiringi gamelan bleganjur. Sesampainya di setra, upacara penyucian kembali dilakukan dengan cara membacakan mantra oleh seorang pedanda. Mantra ini merupakan simbol api abstrak yang akan membakar kotoran yang melekat pada atma atau roh. Usai penyucian, prosesi kremasi kemudian dilakukan dengan membakar bade dan lembu yang berisi jenazah hingga menjadi abu.

Jenasah di dalam lembu kemudian dibakar
Sisa kremasi berupa abu kemudian dikumpulkan untuk dilarung di laut. Bagi masyarakat Hindu, laut dipercaya sebagai simbol alam semesta serta pintu menuju nirwana. Usai dilarung, pihak keluarga akan melaksanakan prosesi terakhir dalam Upacara Ngaben, yaitu Nyekah. Nyekah merupakan ritual menabalkan roh leluhur yang telah di-aben sebagai leluhur pada masing-masing Merajan (tempat suci di kompleks pura keluarga). Dengan ritual ini, pihak keluarga dapat terus mendoakan leluhur di kompleks pura keluarga masing-masing.
Dengan menyaksikan Upacara Ngaben, wisatawan dapat merasakan bagaimana kuatnya ikatan kekerabatan dalam masyarakat Bali. Sebab, Upacara Ngaben merupakan manifestasi dari kuatnya ingatan dan penghormatan masyarakat Bali terhadap leluhur dan sanak kerabatnya. Bahkan bagi masyarakat Bali, terdapat kepercayaan bahwa roh leluhur yang telah di-aben dapat bereinkarnasi kembali ke dalam lingkaran keluarganya, misalnya melalui seorang cucu yang merupakan reinkarnasi dari kakeknya.

C. Lokasi

Upacara Ngaben dapat dikatakan hampir merata dilaksanakan di seluruh wilayah Provinsi Bali, Indonesia. Hanya saja pelaksanaannya sangat bergantung pada pihak penyelenggara, yaitu keluarga terdekat.

D. Akses

Pulau Bali merupakan destinasi wisata utama di Indonesia. Oleh sebab itu, wisatawan dapat dengan mudah memilih berbagai moda transportasi menuju Bali, mulai dari tranportasi darat, laut, hingga udara. Transportasi darat dapat ditempuh dengan memanfaatkan bus antar-provinsi di kota-kota besar di Pulau Jawa. Apabila menempuh jalur laut, wisatawan dapat berangkat dari pelabuhan-pelabuhan terkemuka, seperti Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Mas (Semarang), dan Tanjuk Perak (Surabaya) menuju Pelabuhan Gilimanuk, Bali. Bagi Anda yang ingin menikmati perjalanan menggunakan pesawat udara, Anda dapat menempuh perjalanan dari bandara-bandara utama di Indonesia, serta penerbangan langsung dari Singapura, Malaysia, dan Bangkok. Pesawat dari negara lain di Asia, Eropa, atau Amerika umumnya juga akan singgah terlebih dahulu di ketiga negara tersebut.
Sesampainya di Pelabuhan Gilimanuk atau Bandara Ngurah Rai Denpasar, wisatawan dapat menyewa taksi maupun jasa agen perjalanan untuk mengantarkan wisatawan ke lokasi Upacara Ngaben.

E. Harga Tiket

Wisatawan yang menyaksikan Upacara Ngaben tidak dipungut biaya.

F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Hampir di seluruh destinasi wisata di Pulau Bali telah memiliki fasilitas penginapan mulai dari hotel melati hingga hotel berbintang. Rumah makan sederhana hingga restoran mahal, pub, dan diskotek juga banyak tersedia di pulau ini. Bagi Anda yang memanfaatkan jasa agen perjalanan dapat pula memperoleh jasa pemandu untuk menerangkan prosesi Ngaben atau untuk mengantarkan para pelancong menyaksikan atraksi wisata terkenal lainnya, seperti Tari Kecak dan Tari Barong. Tak hanya itu, di Pulau Bali wisatawan pun dapat mengunjungi beberapa pura terkenal yakni Pura Taman Ayun, Pura Besakih, dan Pura Tanah Lot

Keunikan Tradisi Di Desa TRUNYAN

Keunikan Bali yang ada di Desa Terunyan yang juga merupakan salah satu desa dengan penduduk asli Bali atau Bali Aga yang masih memegang teguh tradisi dari leluhurnya saya yakin akan memancing adrenalin teman traveler untuk segera travel ke Bali dan mengeksplore langsung keistimewaan Desa Terunyan ini.

desa terunyan bali travel 2
Lokasi Desa Trunyan
Desa Trunyan berada dikecamatan Kintamani, berdekatan dengan travel destination lainnya seperti Gunung Batur dan Pura Kintamani. Jadi jika teman traveler datang berkunjung ke Desa Terunyan bisa satu paket dengan mengunjungi travel destination lainnya.
mount batur bali travel destination 15
pura besakih bali travel 17
Adat Istiadat penduduk Desa Terunyan
Seperti yang saya tuliskan diatas bahwa Desa Terunyan memiliki keunikan tersendiri yang menjadikannya sebagai salah satu travel destination yang paling diminati oleh para traveler.
Salah satu ciri khas yang dapat anda lihat dari Desa Trunyan adalah tradisi pemakaman tanpa penguburan ataupun pembakaran mayat seperti umumnya di Bali, namun di Desa Trunyan penduduk yang sudah meninggal akan diletakkan disalah satu kompleks pemakaman dan mayat – mayat tersebut akan diletakkan diatas tanah yang dipagari bambu anyam.
Untuk dapat sampai kelokasi pemakaman ini teman traveler harus menyewa perahu dari Desa Terunyan atau menggunakan kapal dari Batur. Waktu itu saya lebih memilih untuk bermotor sampai kedesa paling ujung karena pemandangan sepanjang Danau Batur sangat indah, jadi  sayang jika harus dilewatkan.
desa terunyan bali travel 1
desa terunyan bali travel 4
desa terunyan bali travel 3
Selama dilokasi pemakaman teman traveler akan dibawa berkeliling oleh seorang guide yang akan menjelaskan semua ritual dan tata cara pemakaman di Desa Terunyan. Awalnya saya tidak percaya bahwa mayat – mayat tersebut hanya diletakkan diatas tanah dan tidak berbau sama sekali. Namun setelah melihat sendiri mayat tersebut berjejer didalam pagar bamboo anyam tersebut dan melihat daging yang mulai membusuk, namun tidak mengeluarkan bau busuk sungguh merupakan hal yang menakjubkan.
Ternyata mayat tersebut tidak berbau karena terserap oleh aroma menyan yang berasal dari sebuah pohon besar yang bernama Taru Menyan.
Pemandangan mengerikan lainnya adalah ratusan tengkorak yang berserakan dan sampah peninggalan mayat – mayat tersebut yang menggunung di lokasi pemakaman. Saya menyebut ini mengerikan karena memang ini bukanlah pemandangan yang biasa.
Keunikan di Desa Trunyan
Keunikan tradisi pemakaman mayat di Desa Trunyan sampai sekarang ini masih mejadi tradisi yang dilakukan secara turun temurun oleh warga setempat. Prosesi orang meninggal di Bali, biasanya dikubur ataupun dibakar. Tapi kalau di desa Trunyan tidak seperti itu, tubuh orang yang sudah meninggal melalui sebuah prosesi dan akhirnya dibungkus dengan kain kapan, dan selanjutnya ditaruh di atas tanah di bawah taru menyan, dikelilingi anyaman dari pohon bambu atau yang disebut ancak saji. Unik bukan…yang cukup aneh juga mayat tidak mengeluarkan bau sedikitpun. jadi kalu kebetulan anda wisata ke Bali dan mengunjungi tempat ini tidak perlu takut dengan bau yang menyengat, karena mungkin bau tersebut sudah diserap oleh Taru/ pohon Menyan yang tumbuh besar di areal pemakaman. Desa Trunyan memang merupakan desa Tua di Bali, yang masih memegang teguh warisan dan tradisi leluhur.
Tradisi Unik di Desa-Trunyan
Jika anda melakukan perjalan tour ataupun wisata keliling Bali, kalau dari Denpasar berjarak sekitar 65 km atau sekitar 2 jam perjalanan dengan kendaraan.. Sebelum sampai di Desa Trunyan, anda akan ketemu beberapa tempat-tempat menarik yang mungkin bisa anda kunjungi, seperti Ubud, Goa gajah, tampaksiring dan penelokan Kintamani. tempat menyaksikan keindahan panorama Danau Batur. Dari penelokan anda turun menuju tepi danau batur tepatnya di Desa Kedisan, di sini dibangun dermaga yang diperuntukkan untuk perahu penyeberangan  menuju Desa Trunyan. Anda bisa menyewa boat, satu buah boat muat sekitar 7 penumpang, berwisata mengelilingi danau Batur yang indah, kemudian melanjutkan penyebrangan mengunjungi Desa Trunyan.
Trunyan sendiri diambil dari kata Taru dan Menyan, taru artinya pohon dan menyan artinya harum, sehingga pohon yang berbau harum diyakini dapat menyerap bau, sehingga mayat tidak mengeluarkan bau. Konon karena perintah raja, khawatir dengan pohon menyan yang baunya harum dan menyengat hidung, membuat banyak orang yang akan mencarinya, nah untuk menghindari hal ini, maka di bawah pohon ditaruh jenazah-jenazah yang diharapkan mengeluarkan bau busuk, jenazah yang diharapkan akan mengeluarkan bau busuk ternyata tidak mengeluarkan bau sama sekali dan taru menyanpun tidak mengeluarkan bau harum lagi. Dan tradisi ini masih berlangsung sampai sekarang.
Tapi tidak semua jenazah di biarkan di alam terbuka di bawah taru menyan, tempat ini hanya diperuntukkan bagi yang meninggal sudah dewasa, meninggal secara normal dan tidak cacat, untuk jenazah bayi di kubur seperti biasanya di Sema Muda dan jenazah yang cacat, meninggal karena tidak normal karena bunuh diri, dibunuh, kecelakaan dikuburkan di Sema Bantas.


Kamis, 12 Desember 2013

KEUNIKAN TRADISI DI BALI


  TRADISI NYAKAN DIWANG 

Tradisi yang telah mendarah daging yang hingga kini dapat tetap menjaga kerukunan antar sesama sebagaimana yang diharapkan dengan pelaksanaan "Tri Hita Karana", patut kita jaga keberadaanya. Salah satu tradisi yang hingga kini kental dan kita dapat jumpai sebagai implementasi ajaran Tri Hita Karana tersebut yaitu Nyakan Ring Margi/Masak di Jalan saat Perayaan Tahun Baru Caka Nyepi,di Desa Kayuputih,Banjar,Buleleng, Bali.
Tradisi turun-temurun yang diselenggarakan krama di Desa Kayuputih, dilaksanakan sehari setelah pelaksanaan Tapa Brata Penyepian ( Amati Geni, tidak menyalakan api serta tidak mengobarkan hawa nafsu, Amati karya, yaitu tidak melakukan kegiatan kerja jasmani melainkan meningkatkan kegiatan menyucikan rohani, Amati lelungaan, yaitu tidak bepergian melainkan melakukan mawas diri dan Amati lelanguan, yaitu tidak mengobarkan kesenangan melainkan melakukan pemusatan pikiran terhadap Ida Sanghyang Widhi) atau pada saat ngembak geni berlangsung.

Tradisi unik itu dinamakan nyakan ring margi/diwang. Tradisi yang sudah berusia ratusan tahun itu berupa menanak nasi di luar rumah tepatnya di pinggir-pinggir jalan di Desa Kayuputih.  Ini sesungguhnya salah satu tradisi unik turun temurun yang ada di Bali. Hanya saja, upacara nyakan diwang ini kurang dikenal krama dari luar Kecamatan Banjar, karena belum pernah dipublikasikan media massa. Pelaksanaannya itu atas dasar kesadaran krama setempat. Tanpa ada ancaman sanksi atau hukuman adat dari desa bagi yang tidak melaksanakan. Tetapi krama merasa ada beban secara niskala bila tidak ikut melaksanakan kegiatan itu. Begitu pula tidak ada dampak negatif yang ditimbulkan bagi yang tidak melaksanakan. Tapi karena ini merupakan tradisi yang ditinggalkan para leluhur secara turun temurun maka krama Desa Kayuputih memiliki kewajiban moral dan niskala untuk melaksanakan.
            Menurut kisah leluhur, nyakan diwang itu merupakan rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi. Digelar nyakan diwang itu sebagai bentuk pembersihan rumah terutama penyepian dapur setiap keluarga di Desa Kayuputih. Uniknya lagi, di sela-sela menanak nasi itu, ada juga tradisi saling mengunjungi tetangga untuk bersilahturami. Karena sebagian besar masyarakat Desa kayuputih merantau untuk mencari pekerjaan, maka moment ini digunakan untuk silaturahmi dengan sahabat, saudara yang sudah lama tidak dijumpainya.Ya, intinya saling menyapa dan sekadar berbasa-basi menanyakan jenis masakannya yang dibuat.

Tidak saja di Desa Kayuputih, tradisi serupa juga dilaksanakan sebagian besar desa-desa di Kecamatan Banjar. Tradisi memasak di jalan sudah mulai dilakukan sejak pukul 00.00 setelah terdengar suara Kulkul pada saat Ngembak Geni. Saat itu, hampir sebagian besar warga sudah keluar rumah mulai memasak.  Akibatnya, jalanan pun menjadi ramai, karena saat itu kendaraan bermotor dilarang lewat sebelum pukul 07.00 pagi.