Jumat, 24 Januari 2014

TRADISI MEGIBUNG di Karangasem Bali

Tradisi Megibung di Karangasem Bali

Selain memiliki tempat wisata yang indah, Bali juga kaya dengan budaya dan tradisi unik, salah satunya megibung, adalah merupakan salah satu tradisi warisan leluhur, dimana merupakan tradisi makan bersama dalam satu wadah. Selain makan bisa sampai puas tanpa rasa sungkan, megibung penuh nilai kebersamaan, bisa sambil bertukar pikiran, bersenda gurau, bahkan bisa saling mengenal atau lebih mempererat persahabatan sesama warga. Makan bersama atau megibung ini, dalam setiap satu wadah terdiri dari 5-8 orang, memang merupakan wujud kebersamaan tidak ada perbedaan antara laki dan perempuan juga perbedaan kasta ataupun warna, semua duduk berbaur dan makan bersama, tapi pada perkembangan berikutnya antara laki dan perempuan dipisahkan, tapi kalu masih dalam satu keluarga ataupun tetangga, mereka memilih bergabung.Tradisi ini masih tertanam kuat di daerah Karangasem Bali.
Tradisi Megibung di karangasem Bali
Tradisi megibung ini dikenalkan oleh Raja Karangasem yaitu I Gusti Agung Anglurah Ketut Karangasem sekitar tahun 1614 Caka atau 1692 Masehi. Ketika pada saat itu, Karangasem dalam ekspedisinya menaklukkan Raja-raja yang ada di tanah Lombok. Ketika istirahat dari peperangan, raja menganjurkan semua prajuritnya untuk makan bersama dalam posisi melingkar yang belakangan dikenal dengan nama Megibung. Bahkan, raja sendiri konon ikut makan bersama dengan prajuritnya.
Megibung dimulai dari masak masakan khas traditional Bali secara bersama-sama, baik itu nasi maupun lauknya. Setelah selesai memasak, warga kemudian menyiapkan makanan itu untuk disantap. Nasi putih diletakkan dalam satu wadah yang disebut gibungan, sedangkan lauk dan sayur yang akan disantap disebut karangan. Tradisi megibung ini  dilangsungkan saat ada upacara adat dan Keagamaan di suatu tempat, terutama di daerah Karangasem, misalnya dalam Upacara yadnya seperti pernikahan, odalan di pura, ngaben, upacara tiga bulanan, dan hajatan lainnya. Pada kegiatan ini biasanya yang punya acara memberikan undangan kepada kerabat serta sanak saudaranya guna menyaksikan prosesi kegiatan upacara keagamaan tersebut. Sehingga prosesi upacara dapat berlangsung seperti yang diharapkan.
Ada beberapa etika yang perlu diperhatikan saat acara megibung, sebelum makan kita harus cuci tangan terlebuh dahulu, tidak menjatuhkan remah/ sisa makanan dari suapan , tidak mengambil makanan disebelah kita,  jika salah satu sudah merasa puas dan kenyang dilarang meninggalkan temannya, walaupun aturan ini tidak tertulis tapi masih diikuti peserta makan megibung.
Di Karangasem, makan megibung secara maraton pernah dilakukan ketika awal pemerintahan Bupati Wayan Geredeg. Makan megibung yang dilakukan tanggal 26 Desember 2006 lalu ini digelar di Taman Sukasada ,Ujung dengan jumlah peserta tidak kurang dari 20.520 orang. Karangasem memiliki beberapa tempat wisata dan juga tradisi unik, sehingga banyak wisman yang menghabiskan waktu liburan di Ujung Timur Bali ini.

Selasa, 21 Januari 2014





        TRADISI PERANG TIPAT- BANTAL DI DESA KAPAL DI BALI




Desa Kapal adalah salah satu desa tradisional di Bali yang kaya akan keunikan adat dan budaya, desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Mengwi Badung ini memiliki tradisi yang unik dan menarik yang masih berlangsung hingga sekarang, salah satunya adalah pelaksanaan Tradisi Aci Rah Pengangon atau lebih dikenal oleh masyarakat setempat sebagai tradisi perang tipat-bantal. Tradisi perang tipat kali ini dilangsungkan di depan Pura Desa lan Puseh Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi, Senin (5/10). Turut ikut menyaksikan pada kesempatan tersebut Bupati Badung A.A Gde Agung, Anggota DPRD Badung I Wayan Yasa, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Badung I Made Subawa, Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung IB Anom Bhasma, Kakandep Agama Kabupaten Badung IB Subawa, Camat Mengwi I Nyoman Suendi beserta tokoh-tokoh masyarakat desa Kapal.
Dalam tradisi ini masyarakat desa Kapal berkumpul di Pura Desa setempat dimana mereka melaksanakan prosesi persembahyangan yang dilanjutkan dengan menuju ke depan pura dimana mereka membagi diri menjadi dua kelompok, dipersenjatai dengan tipat dan bantal, kedua kelompok ini kemudian saling melempari, mencoba mempertemukan tipat dan bantal ini di udara.
Bendesa Adat Kapal A.A Gede Dharmayasa pada kesempatan tersebut menjelaskan bahwa tradisi perang tipat-bantal ini erat kaitannya dengan kehidupan pertanian masyarakat, sebuah tradisi unik yang dilaksanakan sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas kehidupan yang diciptakanNya serta berlimpahnya hasil panen di desa ini. Dimana tradisi ini dilaksanakan setiap setiap Purnama Kapat, atau pada saat purnama bulan keempat dalam penanggalan Bali (sasih kapat) sekitar bulan September – Oktober yang pelaksanaanya diwujutkan dalam bentuk perang tipat-bantal.
Keberadaan tradisi perang tipat-bantal ini banyak dijelaskan dalam catatan-catatan sejarah kuno berupa lontar-lontar, salah satunya terdapat dalam lontar tabuh rah pengangon milik salah seorang warga desa Kapal, ketut sudarsana, dalam lontar tersebut secara singkat dijelaskan pada tahun isaka 1260 atau pada tahun 1338 masehi, Raja Bali Asta Sura Ratna Bhumi Banten mengutus patihnya Ki Kebo Iwa untuk merestorasi Candi Khayangan Purusada yang ada di Desa Kapal. Setibanya di desa Kapal Ki Kebo Iwa melihat Desa Kapal sedang dilanda paceklik panen, risau melihat hal tersebut kemudian Ki Kebo Iwa memohon jalan keluar kepada sang pencipta dengan melakukan yoga semedi. Saat melakukan yoga semedi beliau mendapatkan sabdha dari pencipta untuk melaksanakan Aci Rah Pengangon atau Aci Rare Angon dengan sarana menghaturkan tipat dan bantal sebagai symbol purusha dan predhana/sumber kehidupan, karena penyebab dari segala paceklik tersebut adalah ketiadaan sumber kehidupan. Dalam sabdha ini pula diperoleh agar masyarakat Kapal tidak menjual tipat karena tipat merupakan simbolisasi dari predhana/ibu pertiwi. Akhirnya setelah dilaksanakan Aci Rah Pengangon di Desa Kapal, Desa ini kembali makmur dan tenteram. Dari hal inilah berkembang tradisi perang tipat-bantal di Desa Kapal.

CALONARANG

TRADISI CALONARANG DI BALI


Dalam Calonarang ini, pertempuran sengit terjadi antara barong melawan rangda yang keduanya sakti mandra guna.

Disebutkan dalam babab Bali Dramatari calonarang  ini adalah bersifat ritual dan magis yang pada intinya merupakan perpaduan dari tiga unsur penting, yakni Babarongan diwakili oleh Barong Ket, Rangda dan Celuluk, Unsur Pagambuhan diwakili oleh Condong, Putri, Patih Manis (Panji) dan Patih Keras (Pandung) dan Palegongan diwakili oleh Sisiya-sisiya (murid-murid).

Tokoh penting lainnya dari dramatari ini adalah Matah Gede dan Bondres. Karena pagelaran dramatari ini selalu melibatkan Barong Ket maka Calonarang sering disamakan dengan Barong Ket.

Menurut kisah yang dikutip dari  calonarang dalam bali paradise , cerita calonarang dalam kesenian bali ini diambil dari sebuah cerita semi sejarah dari zaman pemerintahan raja Airlangga di Kahuripan (Jawa timur) pada abad ke IX.


***
Kisah Ceritanya begini :
Pada suatu masa di Kerajaan Daha yang dipimpin oleh raja Erlangga, hidup seorang janda yang sangat bengis. Ia bernama Calon Arang. Ia tinggal di desa Girah. Calon Arang adalah seorang penganut sebuah aliran hitam, yakni kepercayaan sesat yang selalu mengumbar kejahatan memakai ilmu gaib. Ia mempunyai seorang putri bernama Ratna Manggali. Karena puterinya telah cukup dewasa dan Calon Arang tidak ingin Ratna Manggali tidak mendapatkan jodoh, maka ia memaksa beberapa pemuda yang tampan dan kaya untuk menjadi menantunya. Karena sifatnya yang bengis, Calon Arang tidak disukai oleh penduduk Girah. Tak seorang pemuda pun yang mau memperistri Ratna Manggali. Hal ini membuat marah Calon Arang. Ia berniat membuat resah warga desa Girah.

“Kerahkan anak buahmu! Cari seorang anak gadis hari ini juga! Sebelum matahari tenggelam anak gadis itu harus dibawa ke candi Durga!“ perintah Calon Arang kepada Krakah, seorang anak buahnya. Krakah segera mengerahkan cantrik-cantrik Calon Arang untuk mencari seorang anak gadis. Suatu perkerjaan yang tidak terlalu sulit bagi para cantrik Calon Arang.

Sebelum matahari terbit, anak gadis yang malang itu sudah berada di Candi Durga. Ia meronta-ronta ketakutan. “Lepaskan aku! Lepaskan aku!“ teriaknya. Lama kelamaan anak gadis itu pun lelah dan jatuh pingsan. Ia kemudian di baringkan di altar persembahan. Tepat tengah malam yang gelap gulita, Calon Arang mengorbankan anak gadis itu untuk dipersembahkan kepada Betari Durga, dewi angkara murka.

Kutukan Calon Arang menjadi kenyataan. “Banjir! Banjir!“ teriak penduduk Girah yang diterjang aliran sungai Brantas. Siapapun yang terkena percikan air sungai Brantas pasti akan menderita sakit dan menemui ajalnya. “He, he… siapa yang berani melawan Calon Arang ? Calon Arang tak terkalahkan!” demikian Calon Arang menantang dengan sombongnya. Akibat ulah Calon Arang itu, rakyat semakin menderita. Korban semakin banyak. Pagi sakit, sore meninggal. Tidak ada obat yang dapat menanggulangi wabah penyakit aneh itu..

“Apa yang menyebabkan rakyatku di desa Girah mengalami wabah dan bencana ?” Tanya Prabu Erlangga kepada Paman Patih. Setelah mendengar laporan Paman Patih tentang ulah Calon Arang, Prabu Erlangga marah besar. Genderang perang pun segera ditabuh. Maha Patih kerajaan Daha segera menghimpun prajurit pilihan. Mereka segera berangkat ke desa Girah untuk menangkap Calon Arang. Rakyat sangat gembira mendengar bahwa Calon Arang akan ditangkap. Para prajurit menjadi bangga dan merasa tugas suci itu akan berhasil berkat doa restu seluruh rakyat.

Prajurit kerajaan Daha sampai di desa kediaman Calon Arang. Belum sempat melepaskan lelah dari perjalanan jauh, para prajurit dikejutkan oleh ledakan-ledakan menggelegas di antara mereka. Tidak sedikit prajurit Daha yang tiba-tiba menggelepar di tanah, tanpa sebab yang pasti.

Korban dari prajurit Daha terus berjatuhan. Musuh mereka mampu merobohkan lawannya dari jarak jauh, walaupun tanpa senjata. Kekalahan prajurit Daha membuat para cantrik, murid Calon Arang bertambah ganas. “Serang! Serang terus!” seru para cantrik.

Pasukan Daha porak poranda dan lari pontang-panting menyelamatkan diri. Prabu Erlangga terus mencari cara untuk mengalahkan Calon Arang. Untuk mengalahkan Calon Arang, kita harus menggunakan kasih saying”, kata Empu Barada dalam musyawarah kerajaan. “Kekesalan Calon Arang disebabkan belum ada seorang pun yang bersedia menikahi puteri tunggalnya.“

  Mpu Baradah meminta Mpu Bahula  agar dapat membantu dengan tulus untuk mengalahkan Calon Arang. Empu Bahula yang masih lajang diminta bersedia memperistri Ratna Manggali. Dijelaskan, bahwa dengan memperistri Ratna Manggali, Empu Bahula dapat sekaligus memperdalam dan menyempurnakan ilmunya.

Akhirnya rombongan Empu Bahula berangkat ke desa Girah untuk meminang Ratna Manggali. “He he … aku sangat senang mempunyai menantu seorang Empu yang rupawan.” Calon Arang terkekeh gembira. Maka, diadakanlah pesta pernikahan besar-besaran selama tujuh hari tujuh malam. Pesta pora yang berlangsung itu sangat menyenangkan hati Calon Arang. Ratna Manggali dan Empu Bahula juga sangat bahagia. Mereka saling mencintai dan mengasihi. Pesta pernikahan telah berlalu, tetapi suasana gembira masih meliputi desa Girah. Empu Bahula memanfaatkan saat tersebut untuk melaksanakan tugasnya.

Di suatu hari, Empu Bahula bertanya kepada istrinya, “Dinda Manggali, apa yang menyebabkan Nyai Calon Arang begitu sakti?“ Ratna Manggali menjelaskan bahwa kesaktian Nyai Calon Arang terletak pada Kitab Sihir. Melalui buku itu, ia dapat memanggil Betari Durga. Kitab sihir itu tidak bisa lepas dari tangan Calon Arang, bahkan saat tidur, Kitab sihir itu digunakan sebagai alas kepalanya.

Empu Bahula segera mengatur siasat untuk mencuri Kitab Sihir. Tepat tengah malam, Empu Bahula menyelinap memasuki tempat peraduan Calon Arang. Rupanya Calon Arang tidur terlalu lelap, karena kelelahan setelah selama tujuh hari tujuh malam mengumbar kegembiraannya. Empu Bahul berhasil mencuri Kitab sihir Calon Arang dan langsung diserahkan ke Empu Baradah. Setelah itu, Empu Bahula dan istrinya segera mengungsi.

Calon Arang sangat marah ketika mengetahui Kitab sihirnya sudah tidak ada lagi, ia bagaikan seekor badak yang membabi buta. Sementara itu, Empu Baradah mempelajari Kitab sihir dengan tekun. Setelah siap, Empu Baradah menantang Calon Arang. Sewaktu menghadapi Empu Baradah, kedua belah telapak tangan Calon Arang menyemburkan jilatan api, begitu juga kedua matanya.

Empu Baradah menghadapinya dengan tenang. Ia segera membaca sebuah mantera untuk mengembalikan jilatan dan semburan api ke tubuh Calon Arang. Karena Kitab sihir sudah tidak ada padanya, tubuh Calon Arang pun hancur menjadi abu dan tertiup kencang menuju ke Laut Selatan. Sejak itu, desa Girah menjadi aman tenteram seperti sediakala.

Demikian kesenian tradisional dramatari ini dijelaskan sebagai sesuatu yang dilestarikan di Bali sampai saat ini.

TRADISI OMED-OMEDAN DI BALI

Tradisi omed-omedan ataupun med-medan yang berarti tarik-menarik dalam bahasa Indonesia, ini diikuti oleh pemuda dan pemudi yang belum menikah, berumur antara 17-30 tahun, med-medan atau tarik-menarik diikuti adegan berciuman antara satu pemuda dan pemudi.Tradisi ini memang tergolong sangat unik dan membuat kita penasaran, prosesi ini hanya dirayakan sehari setelah upacara Nyepi atau pada hari Ngembak Geni, tanggal 1 pada tahun Baru Caka kalender Bali. Tradisi unik ini dirayakan di desa Sesetan, Denpasar Selatan, Denpasar. Prosesi omed-omedan ini di mulai dari acara persembahyangan bersama, kemudian dibagi menjadi 2 kelompok pemuda dan pemudi yang saling berhadapan, saling tarik-menarik, berpelukan dan berciuman ditonton oleh ribuan warga, bagi yang tidak berhasil mencium pasangannya dihadiahi siraman air sehingga menambah keriuhan suasana. Jika anda sedang wisata ataupun liburan ke Bali, coba saja saksikan tradisi unik ini, hanya sekitar 15 menit dengan kendaraan dari bandara.
Sesuatu yang unik tentunya ada kisah yang melatarbelakanginya. Konon pada saat itu, ada sebuah kerajaan kecil di wilayah Denpasar Selatan, namanya Puri Oka, digelar permainan med-medan atau terik menarik antara pemuda dan pemudi, karena saking gembira dan serunya permainan, acara tarik menarik berubah menjadi rangkul merangkul, sehingga situasi menjadi gaduh. Raja yang kala itu sakit mendengar kebisingan ini menjadi marah, dengan kondisi yang lemah raja keluar melihat warganya,namun melihat adegan seperti ini, amarah raja hilang dan sakitnya hilang dan pulih seperti sedia kala, maka dari itu raja mengeluarkan titah, agar upacara ini dilaksanakan setiap tahunnya yaitu pada hari ngembak geni.
Di tengah kehidupan Kota Denpasar yang sudah modern, tradisi unik warisan leluhur ini yang diwariskan sekitar tahun 1900-an masih juga dirayakan sampai sekarang ini. Sesuai dengan adat Timur yang masih memegang etika, tentunya tidak semua masyarakat Bali bahkan warga Sesetan yang setuju dengan tradisi ini, tradisi ini pernah dihentikan, namun Namun, tak lama kemudian, terjadi perkelahian 2 ekor babi di pelataran Pura, yang amat seru dan anehnya keduanya menghilang begitu saja di tengah perkelahian.Oleh warga setempat, peristiwa itu dianggap sebagai pertanda buruk. Maka, omed-medan pun kembali dilangsungkan.

Tradisi Megeret Pandan

Tradisi Megeret Pandan (  Perang Pandan Berduri)

Tradisi sakral Bali Aga ini menggunakan pandan berduri dan sangat tajam ini adalah unik dan menurut ramagita Tradisi Megeret Pandan. atau Perang Pandan (Mekare-kare) dilakukan selama tiga hari dan juga tradisi ini merupakan sarana latihan ketangkasan seorang prajurit dalam masyarakat Tenganan  sebagai penganut Agama Hindu aliran Dewa Indra sebagai Dewa Perang.



Yang terpenting dalam perang pandan tersebut tidak ada menang kalah. Kalau ada yang sampai terluka akibat goresan pandan akan diobati dengan obat yang telah disediakan yang berasal dari cuka kunir dan isen. Tak heran jika Perang pandan ini menjadi tontonan menarik bagi wisatawan lokal dan mancanegara.

Kepercayaan warga Tenganan agak berbeda dengan warga Bali pada umumnya dimana Umat Hindu Bali yang menjadikan Tri Murti sebagai Dewatertinggi. Namun bagi warga Tenganan, Dewa Indra sebagai dewa perang adalah dewa dari segala dewa.

Menurut sejarahnya Tenganan adalah hadiah dari Dewa Indra pada wong peneges, leluhur desa Tenganan Karangasem Bali.

Salah satu desa Bali Aga yang masih mempertahankan pola hidup secara tradisional ada di kabupaten paling Timur pulau Bali, yaitu Karangasem, memiliki tradisi dan prosesi unik perang pandan yang juga dikenal dengan nama mekare-kare atau mageret pandan. Tradisi ini dirayakan di Desa Tenganan Dauh Tukad, lokasinya sekitar 10 km dari objek wisata Candidasa, 78 km dari Kota Denpasar, bisa ditempuh sekitar 90 menit dengan kendaraan bermotor ke arah timur laut dari Ibu Kota Bali.Sebelum prosesi perang pandan dimulai, warga Tenganan melakukan ritual berkeliling desa.
Selain tradisi unik perang pandan yang merupakan warisan budaya leluhur, Desa Tenganan mempunyai hasil karya seni yang sangat cantik dan indah yaitu kain tenun gringsing yang proses pembuatanya sangat rumit, dibuat dengan memakan waktu yang cukup lama dan warna alami dari tumbuhan. Memang Tenganan sampai sekarang masih mempertahankan tradisi-tradisi yang diwariskan, seperti tata cara kawin harus sesama warga setempat, besar, bentuk dan letak bangunan serta pekarangan, juga letak pura dibuat dengan mengikuti aturan adat yang secara turun-temurun dipertahankan, sehingga Tenganan akan mejadi objek untuk pengembangan desa wisata.
Prosesi perang pandan atau mekare-kare di Tenganan merupakan upacara persembahan untuk menghormati para leluhur dan juga Dewa Indra yang merupakan Dewa Perang, yang bertempur melawan Maya Denawa seorang raja keturunan raksasa yang sakti dan sewenag-wenang, yang melarang rakyatnya menyembah Tuhan. Keyakinan beragama di Tenganan berbeda dengan Agama Hindhu lainnya di bali, tidak mengenal kasta dan meyakini Dewa Indra sebagai dewa Perang dan dewa dari segala Dewa. Untuk menhormati Dewa Indra mereka melakukan upacara perang Pandan.
Upacara perang pandan ini, memakai senjata pandan berduri yang perlambang sebuah gada yang dipakai berperang, perang berhadapan satu lawan satu dan diikuti oleh para lelaki baik itu anak-anak, dewasa maupun orang tua. Upacara perang pandan dirayakan pada bulan ke 5 kalender bali, selama 2 hari, setiap pertarungan berjalan singkat sekitar 1 menit dilakukan bergilir selama 3 jam, walaupun akhirnya mereka sampai mengeluarkan darah karena tertancap duri pandan, setelah perang usai mereka bersama-sama membantu satu dan lainnya mencabuti duri pandan dan meberi obat berupa daun sirih dan kunyit, sama sekali tidak meninggalkan kesan permusuhan.
 

Senin, 16 Desember 2013

TRADISI NGABEN DI BALI

Ritual Ngaben

Ritual Ngaben

A. Selayang Pandang

Pulau Bali yang juga dikenal sebagai “Pulau Seribu Pura” memiliki ritual khusus dalam memperlakukan leluhur atau sanak saudara yang telah meninggal. Apabila di tempat lain orang yang meninggal umumnya dikubur, tidak demikian dengan masyarakat Hindu Bali. Sebagaimana penganut Hindu di India, mereka akan menyelenggarakan upacara kremasi yang disebut Ngaben, yaitu ritual pembakaran mayat sebagai simbol penyucian roh orang yang meninggal.
Dalam kepercayaan Hindu, jasad manusia terdiri dari badan kasar (fisik) dan badan alus (roh atau atma). Badan kasar tersebut dibentuk oleh 5 unsur yg disebut Panca Maha Bhuta, yang terdiri dari pertiwi (tanah), apah (air), teja (api), bayu (angin), serta akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia yang kemudian digerakkan oleh roh. Ketika seseorang meninggal, yang mati sebetulnya hanyalah jasad kasarnya saja, sementara rohnya tidak. Oleh sebab itu, untuk menyucikan roh tersebut diperlukan Upacara Ngaben untuk memisahkan antara jasad kasar dan roh tersebut.
Tentang asal kata Ngaben sendiri ada tiga pendapat. Ada yang mengatakan berasal dari kata beya yang artinya bekal, ada yang merunutnya dari kata ngabu atau menjadi abu, dan ada juga yang mengaitkannya dengan kata ngapen yaitu penyucian dengan menggunakan api. Dalam agama Hindu, dewa pencipta atau Dewa Brahma juga dikenal sebagai dewa api. Oleh sebab itu, Upacara Ngaben juga dapat dilihat sebagai upaya membakar kotoran berupa jasad kasar yang melekat pada roh (disebut pralina atau meleburkan jasad), serta mengembalikan roh kepada Sang Penciptanya.
Bagi masyarakat Bali, Upacara Ngaben merupakan momen bahagia. Sebab dengan melaksanakan Ngaben, anak-anak atau orang tua telah melaksanakan kewajibannya sebagai anggota keluarga. Bagi anak-anak yang telah dewasa, Upacara Ngaben dianggap sebagai salah satu bentuk terima kasih kepada orang tuanya yang meninggal. Oleh sebab itu, bagi sanak keluarga yang ditinggalkan, Upacara Ngaben disambut dengan suka cita, jauh dari isak tangis. Sebab mereka percaya, isak tangis hanya akan menghambat perjalanan roh menuju nirwana.
Namun, tidak semua orang yang meninggal dapat langsung di-aben. Ada juga yang dikubur terlebih dahulu karena alasan belum memiliki cukup biaya. Upacara ini memang membutuhkan biaya yang cukup besar (mulai dari puluhan hingga ratusan juta rupiah) karena pelaksanaannya memerlukan berbagai perangkat upacara (upakara). Oleh sebab itu, Upacara Ngaben boleh dilaksanakan beberapa tahun setelah seorang sanak keluarga meninggal. Bahkan untuk menghemat biaya, Ngaben juga bisa dilaksanakan secara massal. 
Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan untuk orang yang meninggal dan ada jenazahnya. Untuk orang yang jasadnya tidak ditemukan atau susah dikenali, misalnya karena kecelakaan pesawat, terseret arus laut, tertimpa musibah kebakaran, atau menjadi korban pemboman (seperti kasus Bom Bali I dan II), pihak keluarga tetap dapat melaksanakan Ngaben dengan cara mengambil tanah lokasi meninggalnya untuk dibakar. Sementara untuk bayi di bawah usia 42 hari atau bayi yang belum tanggal giginya jenazahnya harus dikubur. Apabila tetap ingin di-aben, maka dapat dilakukan dengan mengikuti Upacara Ngaben salah seorang anggota keluarga yang juga meninggal. Selain di Pulau Bali, Upacara Ngaben juga dilaksanakan oleh para penganut Hindu di beberapa tempat, seperti di Banyuwangi, Lombok, Jakarta, bahkan oleh para transmigran dari Bali di Lampung.

B. Keistimewaan

Ritual Ngaben biasanya diselenggarakan secara meriah dan mengikutsertakan ratusan hingga ribuan orang yang terdiri dari sanak saudara maupun penduduk banjar setempat (organisasi sosial khas masyarakat Bali setingkat dengan Rukun Warga). Dalam perkembangannya, upacara unik ini juga menjadi salah satu agenda pariwisata, di mana wisatawan domestik dan mancanegara dapat turut serta menonton ritual ini, terutama pada tahapan upacara utama, yaitu kremasi jenazah.
Salah satu Upacara Ngaben terbesar yang dihadiri oleh sanak keluarga, kerabat, dan wisatawan adalah Upacara Ngaben keluarga Puri Ubud pada 5 Juli 2008 silam. Sekitar 300.000 orang berkumpul di ruas Jalan Raya Ubud untuk meramaikan upacara kremasi massal yang mengikutsertakan 3 sawa (roh yang telah meninggal) dari keluarga puri dan puluhan sawa lainnya dari beberapa banjar di sekitar Puri Ubud.

Ratusan ribu pengiring dalam Ngaben keluarga Puri Ubud
Sebelum kremasi jenazah dilakukan, terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh pihak keluarga, seperti memandikan jenazah, Ngajum, pembakaran atau Ngaben, serta Nyekah. Sebelum tahapan pertama penyucian jenazah dilakukan, pihak keluarga akan menghadap pedanda (pendeta Hindu Bali) untuk menanyakan hari yang baik guna melakukan Upacara Ngaben. Apabila Ngaben dilaksanakan segera setelah seorang anggota keluarga meninggal, maka biasanya pedanda akan memilih hari yang tidak lebih dari 7 hari sejak hari kematiannya.
Setelah didapat waktu yang tepat, maka keluarga segera melakukan ritual pertama, yaitu nyiramin layon atau memandikan jenazah. Prosesi memandikan jenazah ini dilakukan oleh pedanda yang mewakili kaum Brahmana. Usai dimandikan, jenazah kemudian diberi pakaian adat Bali lengkap. Ritual selanjutnya adalah Ngajum, yaitu ritual melepaskan roh dengan cara membuat simbol-simbol yang menggambarkan proses dan unsur-unsur penyucian roh.
Di sela-sela dua ritual ini, sanak saudara dibantu masyarakat sekitar akan membuat bade (menara) dan lembu (patung mirip lembu yang akan menjadi tempat jenazah) dengan hiasan kertas warna-warni. Pada hari yang telah ditentukan, Upacara Ngaben biasanya akan dilaksanakan di kuburan desa setempat (setra). Jenazah yang akan di-aben ditempatkan di atas bade (menara) yang tingginya dipengaruhi oleh kasta sang jenazah. Menara paling tinggi (bisa mencapai puluhan meter dengan berat beberapa ton) diperuntukkan bagi jenazah dari golongan Brahmana (pemimpin agama), yang lebih rendah untuk golongan Ksatria (raja-raja) dan Wesia (pedagang), sementara menara yang paling rendah untuk golongan Sudra (rakyat biasa). Menara ini juga merupakan simbol pemisahan antara langit dan bumi, di mana roh akan diantarkan menuju nirwana.

Para kerabat dan warga banjar mengiringi Bade (menara) dan lembu, tempat jenazah yang akan dibakar
Bade dan lembu tersebut kemudian diusung dan diarak menuju setra (kuburan) dengan diiringi gamelan bleganjur. Sesampainya di setra, upacara penyucian kembali dilakukan dengan cara membacakan mantra oleh seorang pedanda. Mantra ini merupakan simbol api abstrak yang akan membakar kotoran yang melekat pada atma atau roh. Usai penyucian, prosesi kremasi kemudian dilakukan dengan membakar bade dan lembu yang berisi jenazah hingga menjadi abu.

Jenasah di dalam lembu kemudian dibakar
Sisa kremasi berupa abu kemudian dikumpulkan untuk dilarung di laut. Bagi masyarakat Hindu, laut dipercaya sebagai simbol alam semesta serta pintu menuju nirwana. Usai dilarung, pihak keluarga akan melaksanakan prosesi terakhir dalam Upacara Ngaben, yaitu Nyekah. Nyekah merupakan ritual menabalkan roh leluhur yang telah di-aben sebagai leluhur pada masing-masing Merajan (tempat suci di kompleks pura keluarga). Dengan ritual ini, pihak keluarga dapat terus mendoakan leluhur di kompleks pura keluarga masing-masing.
Dengan menyaksikan Upacara Ngaben, wisatawan dapat merasakan bagaimana kuatnya ikatan kekerabatan dalam masyarakat Bali. Sebab, Upacara Ngaben merupakan manifestasi dari kuatnya ingatan dan penghormatan masyarakat Bali terhadap leluhur dan sanak kerabatnya. Bahkan bagi masyarakat Bali, terdapat kepercayaan bahwa roh leluhur yang telah di-aben dapat bereinkarnasi kembali ke dalam lingkaran keluarganya, misalnya melalui seorang cucu yang merupakan reinkarnasi dari kakeknya.

C. Lokasi

Upacara Ngaben dapat dikatakan hampir merata dilaksanakan di seluruh wilayah Provinsi Bali, Indonesia. Hanya saja pelaksanaannya sangat bergantung pada pihak penyelenggara, yaitu keluarga terdekat.

D. Akses

Pulau Bali merupakan destinasi wisata utama di Indonesia. Oleh sebab itu, wisatawan dapat dengan mudah memilih berbagai moda transportasi menuju Bali, mulai dari tranportasi darat, laut, hingga udara. Transportasi darat dapat ditempuh dengan memanfaatkan bus antar-provinsi di kota-kota besar di Pulau Jawa. Apabila menempuh jalur laut, wisatawan dapat berangkat dari pelabuhan-pelabuhan terkemuka, seperti Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Mas (Semarang), dan Tanjuk Perak (Surabaya) menuju Pelabuhan Gilimanuk, Bali. Bagi Anda yang ingin menikmati perjalanan menggunakan pesawat udara, Anda dapat menempuh perjalanan dari bandara-bandara utama di Indonesia, serta penerbangan langsung dari Singapura, Malaysia, dan Bangkok. Pesawat dari negara lain di Asia, Eropa, atau Amerika umumnya juga akan singgah terlebih dahulu di ketiga negara tersebut.
Sesampainya di Pelabuhan Gilimanuk atau Bandara Ngurah Rai Denpasar, wisatawan dapat menyewa taksi maupun jasa agen perjalanan untuk mengantarkan wisatawan ke lokasi Upacara Ngaben.

E. Harga Tiket

Wisatawan yang menyaksikan Upacara Ngaben tidak dipungut biaya.

F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Hampir di seluruh destinasi wisata di Pulau Bali telah memiliki fasilitas penginapan mulai dari hotel melati hingga hotel berbintang. Rumah makan sederhana hingga restoran mahal, pub, dan diskotek juga banyak tersedia di pulau ini. Bagi Anda yang memanfaatkan jasa agen perjalanan dapat pula memperoleh jasa pemandu untuk menerangkan prosesi Ngaben atau untuk mengantarkan para pelancong menyaksikan atraksi wisata terkenal lainnya, seperti Tari Kecak dan Tari Barong. Tak hanya itu, di Pulau Bali wisatawan pun dapat mengunjungi beberapa pura terkenal yakni Pura Taman Ayun, Pura Besakih, dan Pura Tanah Lot

Keunikan Tradisi Di Desa TRUNYAN

Keunikan Bali yang ada di Desa Terunyan yang juga merupakan salah satu desa dengan penduduk asli Bali atau Bali Aga yang masih memegang teguh tradisi dari leluhurnya saya yakin akan memancing adrenalin teman traveler untuk segera travel ke Bali dan mengeksplore langsung keistimewaan Desa Terunyan ini.

desa terunyan bali travel 2
Lokasi Desa Trunyan
Desa Trunyan berada dikecamatan Kintamani, berdekatan dengan travel destination lainnya seperti Gunung Batur dan Pura Kintamani. Jadi jika teman traveler datang berkunjung ke Desa Terunyan bisa satu paket dengan mengunjungi travel destination lainnya.
mount batur bali travel destination 15
pura besakih bali travel 17
Adat Istiadat penduduk Desa Terunyan
Seperti yang saya tuliskan diatas bahwa Desa Terunyan memiliki keunikan tersendiri yang menjadikannya sebagai salah satu travel destination yang paling diminati oleh para traveler.
Salah satu ciri khas yang dapat anda lihat dari Desa Trunyan adalah tradisi pemakaman tanpa penguburan ataupun pembakaran mayat seperti umumnya di Bali, namun di Desa Trunyan penduduk yang sudah meninggal akan diletakkan disalah satu kompleks pemakaman dan mayat – mayat tersebut akan diletakkan diatas tanah yang dipagari bambu anyam.
Untuk dapat sampai kelokasi pemakaman ini teman traveler harus menyewa perahu dari Desa Terunyan atau menggunakan kapal dari Batur. Waktu itu saya lebih memilih untuk bermotor sampai kedesa paling ujung karena pemandangan sepanjang Danau Batur sangat indah, jadi  sayang jika harus dilewatkan.
desa terunyan bali travel 1
desa terunyan bali travel 4
desa terunyan bali travel 3
Selama dilokasi pemakaman teman traveler akan dibawa berkeliling oleh seorang guide yang akan menjelaskan semua ritual dan tata cara pemakaman di Desa Terunyan. Awalnya saya tidak percaya bahwa mayat – mayat tersebut hanya diletakkan diatas tanah dan tidak berbau sama sekali. Namun setelah melihat sendiri mayat tersebut berjejer didalam pagar bamboo anyam tersebut dan melihat daging yang mulai membusuk, namun tidak mengeluarkan bau busuk sungguh merupakan hal yang menakjubkan.
Ternyata mayat tersebut tidak berbau karena terserap oleh aroma menyan yang berasal dari sebuah pohon besar yang bernama Taru Menyan.
Pemandangan mengerikan lainnya adalah ratusan tengkorak yang berserakan dan sampah peninggalan mayat – mayat tersebut yang menggunung di lokasi pemakaman. Saya menyebut ini mengerikan karena memang ini bukanlah pemandangan yang biasa.
Keunikan di Desa Trunyan
Keunikan tradisi pemakaman mayat di Desa Trunyan sampai sekarang ini masih mejadi tradisi yang dilakukan secara turun temurun oleh warga setempat. Prosesi orang meninggal di Bali, biasanya dikubur ataupun dibakar. Tapi kalau di desa Trunyan tidak seperti itu, tubuh orang yang sudah meninggal melalui sebuah prosesi dan akhirnya dibungkus dengan kain kapan, dan selanjutnya ditaruh di atas tanah di bawah taru menyan, dikelilingi anyaman dari pohon bambu atau yang disebut ancak saji. Unik bukan…yang cukup aneh juga mayat tidak mengeluarkan bau sedikitpun. jadi kalu kebetulan anda wisata ke Bali dan mengunjungi tempat ini tidak perlu takut dengan bau yang menyengat, karena mungkin bau tersebut sudah diserap oleh Taru/ pohon Menyan yang tumbuh besar di areal pemakaman. Desa Trunyan memang merupakan desa Tua di Bali, yang masih memegang teguh warisan dan tradisi leluhur.
Tradisi Unik di Desa-Trunyan
Jika anda melakukan perjalan tour ataupun wisata keliling Bali, kalau dari Denpasar berjarak sekitar 65 km atau sekitar 2 jam perjalanan dengan kendaraan.. Sebelum sampai di Desa Trunyan, anda akan ketemu beberapa tempat-tempat menarik yang mungkin bisa anda kunjungi, seperti Ubud, Goa gajah, tampaksiring dan penelokan Kintamani. tempat menyaksikan keindahan panorama Danau Batur. Dari penelokan anda turun menuju tepi danau batur tepatnya di Desa Kedisan, di sini dibangun dermaga yang diperuntukkan untuk perahu penyeberangan  menuju Desa Trunyan. Anda bisa menyewa boat, satu buah boat muat sekitar 7 penumpang, berwisata mengelilingi danau Batur yang indah, kemudian melanjutkan penyebrangan mengunjungi Desa Trunyan.
Trunyan sendiri diambil dari kata Taru dan Menyan, taru artinya pohon dan menyan artinya harum, sehingga pohon yang berbau harum diyakini dapat menyerap bau, sehingga mayat tidak mengeluarkan bau. Konon karena perintah raja, khawatir dengan pohon menyan yang baunya harum dan menyengat hidung, membuat banyak orang yang akan mencarinya, nah untuk menghindari hal ini, maka di bawah pohon ditaruh jenazah-jenazah yang diharapkan mengeluarkan bau busuk, jenazah yang diharapkan akan mengeluarkan bau busuk ternyata tidak mengeluarkan bau sama sekali dan taru menyanpun tidak mengeluarkan bau harum lagi. Dan tradisi ini masih berlangsung sampai sekarang.
Tapi tidak semua jenazah di biarkan di alam terbuka di bawah taru menyan, tempat ini hanya diperuntukkan bagi yang meninggal sudah dewasa, meninggal secara normal dan tidak cacat, untuk jenazah bayi di kubur seperti biasanya di Sema Muda dan jenazah yang cacat, meninggal karena tidak normal karena bunuh diri, dibunuh, kecelakaan dikuburkan di Sema Bantas.